Hi-Fella Insights

Jualan Apa yang Selalu Dibutuhkan Sepanjang Masa? Tips untuk Pengusaha

Dalam dunia bisnis yang penuh dengan ketidakpastian, para pengusaha pemula, pedagang online, dan individu yang mencari peluang bisnis mungkin sering bertanya-tanya mengenai “Jualan apa yang selalu dibutuhkan sepanjang masa?” 

Nah, jawaban dari pertanyaan tersebut ternyata terletak pada pemilihan produk yang tidak hanya bertahan dalam berbagai kondisi ekonomi, tetapi juga memiliki permintaan yang konsisten dari konsumen. 

Untuk itu pada artikel ini kami akan memberikan informasi mengenai apa saja jenis produk tersebut, sehingga dapat membantu Anda dalam memilih jenis usaha yang memiliki potensi pasar yang luas.

Definisi Produk ‘Evergreen’

Dilansir dari SaleHoo, produk ‘evergreen’ adalah produk yang selalu dibutuhkan oleh konsumen, tidak terpengaruh oleh tren atau musim tertentu. 

Produk-produk ini mencakup kebutuhan dasar manusia dan layanan yang selalu akan dicari, seperti makanan, pakaian, dan kebersihan.

Mengapa Memilih Produk Evergreen?

dua orang pasangan yang sedang mencari buah-buahan dan sayur-sayuran di swalayan

Sumber: Pexels

Memilih untuk berjualan produk evergreen memberikan kestabilan dan potensi pertumbuhan jangka panjang untuk bisnis Anda. 

Dengan fokus pada produk yang selalu dibutuhkan, Anda dapat mengurangi risiko yang terkait dengan fluktuasi pasar dan perubahan tren konsumen.

Rekomendasi Jualan Apa yang Selalu Dibutuhkan Sepanjang Masa

Berikut ini adalah daftar beberapa rekomendasi produk dan layanan yang memiliki potensi besar untuk selalu dibutuhkan sepanjang masa:

1. Makanan dan Minuman

  • Bahan Pokok: Beras, gandum, dan jagung.
  • Makanan Sehat dan Organik: Produk segar, makanan non-GMO, dan organik.
  • Makanan Cepat Saji Sehat: Alternatif sehat untuk makanan cepat saji tradisional.

2. Produk Kebersihan dan Sanitasi

  • Produk Kebersihan Pribadi: Sabun, sampo, dan pasta gigi.
  • Pembersih Rumah Tangga: Disinfektan, pembersih lantai, dan pembersih kaca.

3. Pakaian dan Aksesoris

  • Pakaian Dasar: Kaos, celana jeans, dan pakaian dalam.
  • Pakaian untuk Cuaca Ekstrem: Jaket tahan air, pakaian hangat untuk musim dingin.
  • Aksesoris Fungsional: Tas, dompet, dan ikat pinggang.

4. Kesehatan dan Kecantikan

  • Suplemen Kesehatan: Vitamin dan suplemen mineral.
  • Produk Perawatan Kulit: Pelembab, tabir surya, dan produk anti-aging.
  • Produk Kecantikan Dasar: Makeup dasar seperti lipstik dan bedak.

5. Pendidikan dan Pelatihan

  • Buku dan Materi Edukasi: Buku teks, buku panduan, dan bahan belajar online.
  • Kursus Online: Pelatihan keahlian, bahasa, dan pengembangan pribadi.
  • Alat Tulis dan Perlengkapan Sekolah: Pensil, buku catatan, dan tas sekolah.

6. Teknologi dan Elektronik

  • Perangkat Seluler: Smartphone dan aksesoris.
  • Komputer dan Aksesoris: Laptop, keyboard, dan mouse.
  • Aplikasi dan Software: Aplikasi produktivitas, perangkat lunak keamanan.

7. Layanan Keuangan

  • Asuransi: Kesehatan, kendaraan, dan properti.
  • Layanan Keuangan Pribadi: Konsultasi perencanaan keuangan dan investasi.

8. Energi dan Utilitas

  • Solusi Energi Terbarukan: Panel surya dan turbin angin.
  • Layanan Kebersihan: Pengelolaan sampah dan daur ulang.

Produk dan layanan ini terus dibutuhkan karena mereka memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, kebersihan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan. 

Memilih untuk berfokus pada salah satu dari area ini dapat menyediakan dasar yang kuat untuk bisnis yang stabil dan berkelanjutan.

Analisis Potensi Pasar

Dalam konteks bisnis yang cenderung berubah-ubah, pertanyaan “Jualan apa yang selalu dibutuhkan sepanjang masa?” sering kali menjadi titik awal bagi para pengusaha yang mencari ide bisnis yang berjangka panjang. 

Kunci untuk menjawab pertanyaan ini terletak pada pemahaman mendalam tentang analisis potensi pasar, yang mencakup identifikasi kebutuhan konsumen serta pengenalan peluang dan tantangan yang ada. 

Melalui pendekatan ini, pemilik bisnis dapat mengidentifikasi dan memanfaatkan produk evergreen produk yang permintaannya tidak banyak berubah seiring waktu dan juga sebagai fondasi untuk pertumbuhan jangka panjang. 

Baca Juga: Butuh Kos? Ini Daftar Aplikasi Selain Mamikos yang Wajib Dicoba!SuperKos

Identifikasi Kebutuhan Konsumen

Identifikais kebutuhan konsumen mengenai jualan apa yang selalu dibutuhkan sepanjang masa

Sumber: Pexels

Pemahaman yang kuat tentang kebutuhan dasar dan keinginan konsumen merupakan fondasi dari analisis potensi pasar yang efektif. 

Hal ini tidak hanya tentang mengenal produk yang dibutuhkan sepanjang masa tetapi juga tentang memahami mengapa produk tersebut selalu dibutuhkan. 

Dengan mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang universal dan berkelanjutan, seperti makanan, pakaian, dan kesehatan, pengusaha dapat mengarahkan usaha mereka ke pasar yang memiliki permintaan tinggi dan stabil.

Dalam melakukan identifikasi kebutuhan konsumen, penting bagi bisnis untuk melakukan penelitian pasar yang komprehensif, yang dapat meliputi survei, wawancara, dan analisis data sekunder. 

Penelitian ini membantu dalam mengungkap tren konsumen, preferensi pembelian, dan perilaku konsumsi yang dapat menginformasikan keputusan tentang produk atau layanan yang akan ditawarkan.

Peluang dan Tantangan

Sementara pasar untuk produk evergreen cenderung stabil, perubahan tren atau pasar yang terus berubah membawa peluang dan tantangan tersendiri. 

Peluang seringkali muncul dari kemajuan teknologi, perubahan demografis, atau pergeseran dalam nilai sosial yang dapat mempengaruhi cara produk diproduksi, dipasarkan, atau dikonsumsi. 

Misalnya, kemajuan dalam teknologi berkelanjutan dapat membuka pasar baru untuk produk evergreen yang lebih ramah lingkungan, sementara perubahan demografis seperti pertumbuhan populasi usia lanjut dapat meningkatkan permintaan untuk produk kesehatan.

Namun, dengan peluang juga akan muncul tantangan. Salah satu tantangan utama dalam menjual produk yang selalu dibutuhkan adalah persaingan yang ketat. Hampir semua pasar yang mencakup produk evergreen sudah jenuh dengan berbagai penawaran dari kompetitornya. 

Oleh karena itu, inovasi dan diferensiasi produk menjadi kunci untuk menonjol. Hal ini bisa berarti memperkenalkan fitur baru yang memenuhi kebutuhan konsumen dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya, memanfaatkan teknologi terbaru untuk meningkatkan kualitas atau efisiensi, atau bahkan menciptakan pengalaman merek yang unik yang membangun loyalitas pelanggan.

Baca juga: 7 Sumber Peluang Usaha dari Faktor Eksternal Bagi Pelaku Usaha

Strategi Pemasaran yang Efektif

strategi pemasaran digital atau digital marketing untuk jualan

Untuk menjawab pertanyaan penting, “Jualan apa yang selalu dibutuhkan sepanjang masa?”, tidak cukup hanya dengan menemukan produk atau layanan yang selalu dibutuhkan, namun mengetahui bagaimana cara strategi pemasaran yang efektif juga merupakan suatu cara yang penting untuk menjamin keberhasilan bisnis Anda secara jangka panjang.

Berikut merupakan berbagai strategi pemasaran yang efektif dilakukan:

1. Pemasaran Digital

Dalam era digital, pemasaran online menjadi krusial untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Strategi seperti optimisasi mesin pencari (SEO), pemasaran media sosial, Ads, dan email marketing dapat sangat efektif.

Baca juga: Mengenal Apa Fungsi CTA dalam Pemasaran Beserta Contohnya

2. Membangun Hubungan dengan Pelanggan

Selain pemasaran digital, membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan adalah kunci untuk memastikan loyalitas dan ulasan positif. Berikut adalah beberapa cara untuk membangun dan memelihara hubungan tersebut:

  • Layanan Pelanggan yang Responsif

Layanan pelanggan yang responsif dan membantu tidak hanya menyelesaikan masalah tetapi juga menunjukkan bahwa bisnis Anda peduli terhadap kepuasan pelanggan. Ini dapat meningkatkan kepercayaan dan loyalitas pelanggan.

  • Pendekatan Secara Personal

Menggunakan data pelanggan untuk menawarkan pengalaman yang dipersonalisasi, seperti rekomendasi produk berdasarkan riwayat pembelian, dapat membuat pelanggan merasa dihargai dan meningkatkan kemungkinan pembelian berulang.

  • Menghargai Feedback Pelanggan

Aktif meminta feedback dan bertindak berdasarkan saran atau kritik pelanggan menunjukkan bahwa Anda menghargai pendapat mereka dan berkomitmen untuk peningkatan berkelanjutan.

Dalam menerapkan strategi pemasaran yang efektif, sangat penting untuk memastikan bahwa setiap tindakan dan campaign yang Anda lakukan sejalan dengan nilai dan tujuan bisnis Anda. 

Cara ini tidak hanya membantu dalam mencapai sasaran pemasaran Anda tetapi juga dalam membangun merek yang kuat dan terpercaya. 

Dengan mengkombinasikan pemasaran digital dengan hubungan pelanggan yang efektif, bisnis Anda dapat berkembang dan mencapai kesuksesan jangka panjang di pasar yang kompetitif ini.

Hi-Fella Online Exhibition

Menjawab pertanyaan “Jualan apa yang selalu dibutuhkan sepanjang masa?” bukanlah tugas yang mudah, namun dengan fokus pada produk evergreen, Anda dapat membangun bisnis yang stabil dan berkelanjutan. 

Dengan memahami kebutuhan konsumen, menganalisis potensi pasar, dan menerapkan strategi pemasaran yang efektif, Anda dapat menjangkau pasar global dan mencapai kesuksesan.

Yuk, Buka Bisnis ‘Evergreen’ Mu!

Ingin memulai bisnis yang memiliki potensi pasar luas dan berkelanjutan? Buka bisnis ‘ever green‘ mu dan jangkau pasar global bersama Hi-fella. 

Dengan produk yang selalu dibutuhkan, Anda tidak hanya memberikan nilai kepada konsumen tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk masa depan bisnis Anda.

About Author

Silvia Stefani Chandra

Silvia Stefani Chandra

Leave a Reply

Other Article

The Intersection of Religion and International Business: Understanding Pope Leo's Influence
The Intersection of Religion and International Business: Understanding Pope Leo's Influence
In today’s global marketplace, business decisions are shaped by a complex web of economic, political,...
Read More
Pope Leo’s Emphasis on Social Justice: Implications for Corporate Governance and ESG Reporting Pope Leo XIII might not be the first name that comes to mind when thinking about supply chains, board structures, or ESG metrics—but perhaps he should be. In 1891, with the encyclical Rerum Novarum, Pope Leo XIII became one of the earliest modern figures to articulate a systematic philosophy of social justice grounded in dignity, fairness, and responsibility within economic life. Over a century later, his message is finding surprising resonance in boardrooms, compliance frameworks, and ESG reports. As global businesses, particularly those operating across borders in the export-import arena, face mounting scrutiny over how they treat workers, engage communities, and protect the environment, the principles championed by Pope Leo offer more than ethical guidance. They offer a blueprint for long-term, resilient corporate governance. Revisiting Rerum Novarum: The Origins of Modern Social Doctrine Issued in response to the harsh conditions of the industrial revolution, Rerum Novarum—Latin for “Of New Things”—was Pope Leo XIII’s response to capitalism’s rapid evolution. The encyclical didn’t condemn free markets outright but warned against the dehumanisation of labour and unchecked industrial power. Its key tenets included: The right to private property, balanced by the obligation to use it responsibly. The dignity of labour and the necessity of a living wage. The importance of trade unions and collective bargaining. The role of the state in protecting vulnerable populations. A critique of both unregulated capitalism and radical socialism. In effect, Leo XIII laid out a social framework that prioritised human dignity over profit maximisation. And while this doctrine was originally written for a 19th-century Europe grappling with mechanisation and urban poverty, its philosophical architecture is highly relevant to today’s conversations on Environmental, Social, and Governance (ESG) standards. From Papal Doctrine to ESG Standards: The Bridge ESG has become the de facto language for expressing how corporations manage risks and opportunities beyond traditional financial metrics. But at its core, ESG is about values translated into systems: how we treat people, how we steward resources, and how we design institutions to be accountable. In this context, Pope Leo’s teachings become not only compatible with ESG but foundational to it. Consider the thematic overlap: Social justice aligns with Social (S) in ESG, covering labour conditions, employee wellbeing, and equitable supply chains. Ethical use of property aligns with Governance (G), touching on shareholder responsibility, executive accountability, and ethical decision-making. Concern for the common good parallels Environmental (E) imperatives, especially the long-term view of sustainability and stewardship. This is particularly relevant for multinational export-import players who straddle jurisdictions, labour regimes, and supply chains that often include both highly regulated markets and vulnerable geographies. Corporate Governance: A New Moral Imperative Corporate governance is no longer just about fiduciary responsibility and compliance checklists. Boards are now expected to think critically about systemic risks—climate, inequality, supply chain fragility—and to embed values into business models. This is where Pope Leo’s influence becomes strategically significant. His emphasis on subsidiarity, a principle later elaborated in Catholic social teaching, holds that decisions should be made at the lowest competent level. Applied to corporate governance, this suggests empowering local suppliers, decentralising certain ESG strategies, and trusting community-rooted partners rather than imposing top-down mandates. For export-import firms, especially those operating in developing economies, this governance model encourages: Partnering with local stakeholders on environmental and social policies. Ensuring board diversity includes voices with on-the-ground operational or social insight. Establishing ethical trade committees that go beyond legal compliance into moral accountability. A good example comes from Unilever, which embedded sustainability goals directly into board oversight mechanisms, giving ESG performance equal weight to traditional financial KPIs. This approach reflects not just smart governance but the moral sensibility that Leo XIII envisioned—a business accountable not only to shareholders but to society at large. Social Justice in Supply Chains: From Ethics to Action One of Pope Leo’s most striking contributions was his insistence on a “living wage”—a concept that remains radical in many parts of the world. Today, the globalised supply chain continues to struggle with this legacy. From textile factories in Bangladesh to cobalt mines in the Democratic Republic of Congo, millions of workers form the backbone of export-import networks, yet live on precarious wages with minimal protections. ESG reporting frameworks such as the Global Reporting Initiative (GRI) and Sustainability Accounting Standards Board (SASB) now require disclosure of workforce conditions, safety, gender pay gaps, and forced labour risk. These aren’t just regulatory pressures—they're extensions of the same ethical imperative Leo XIII articulated: the dignity of work and the rights of workers. For global firms, this means: Auditing suppliers for not only compliance but dignity—ensuring workers have safe conditions, fair pay, and voice mechanisms. Moving from reactive CSR donations to proactive value-chain transformation. Embracing long-term contracts with suppliers that reward ethical practices over lowest-cost bids. Apple, for instance, began publishing annual supply chain responsibility reports in the 2010s, and while not perfect, the move to public accountability mirrors the moral transparency that Pope Leo would consider essential in any economic structure. ESG Reporting: The Shift From Optics to Substance Pope Leo XIII warned against philanthropy as a substitute for justice. Today, businesses are often accused of “greenwashing” or “social-washing”—presenting ESG initiatives as branding exercises rather than embedded values. This is where his legacy offers a potent corrective. True ESG alignment demands that social impact is not confined to a side office in marketing, but woven into procurement strategies, capital allocation, and product development. To do this effectively, companies must move beyond disclosure to deliberation: What ethical lens do we use when selecting markets or partners? How are decisions about automation, relocation, or workforce reduction made—and who benefits? Does our ESG data reflect lived realities, or merely pass the materiality test? The EU’s Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD), set to impact over 50,000 companies by 2026, moves toward this deeper integration by requiring not just narrative sustainability reports, but auditable, standardised ESG data. Firms that fail to build internal ESG data systems now will face reputational and regulatory penalties soon. Investor Sentiment and Catholic Social Ethics Interestingly, investor behaviour is also converging with Leo XIII’s ethics. Impact investing, faith-based investing, and ESG screening are no longer niche. According to the Global Sustainable Investment Review, global sustainable investment reached $35.3 trillion in 2020, accounting for more than a third of total assets under management. Faith-aligned investment groups, including Catholic institutions managing multi-billion-dollar endowments, increasingly exclude companies that violate labour rights, degrade ecosystems, or operate in high-conflict zones. Pope Leo’s social vision now directly influences capital flows. Export-import players hoping to attract institutional investors must demonstrate more than quarterly earnings—they must articulate how their operations align with justice, stewardship, and human dignity. These are not soft values; they are becoming capital differentiators. The Strategic Advantage of Moral Clarity It’s tempting to see ESG as a chore, an imposition from regulators and activist investors. But Leo XIII saw something deeper: that systems built without moral clarity eventually become unstable. Whether it’s collapsing supply chains during a pandemic, extreme weather disrupting logistics, or social unrest in response to inequality, businesses today are paying the price for ignoring the societal context in which they operate. For those in export-import—where interdependence, visibility, and velocity define competitive advantage—moral clarity is not just a compass. It’s a risk management tool. Embracing the social justice principles articulated by Pope Leo XIII is not about religious observance. It’s about recognising that every contract, every shipment, and every business decision takes place in a moral landscape. Companies that map that terrain wisely will build trust, attract capital, and sustain value in a turbulent century. Final Thought: The Long View Matters Pope Leo XIII understood that economic systems shape souls, not just markets. As ESG matures from a trend to a global standard, his insistence on dignity, justice, and moral economy becomes increasingly relevant. Businesses that embrace this long view—treating social responsibility as governance, not charity—will not only report better metrics. They’ll build more enduring, ethical, and ultimately profitable operations. Join Hi-Fella Today! As Pope Leo’s enduring emphasis on social justice gains renewed relevance in today’s ESG-driven business landscape, export-import companies must rise to the challenge of aligning profit with purpose. Hi-Fella supports this shift by connecting you with ethically aligned partners, offering transparency tools to enhance ESG reporting, and enabling responsible sourcing across global markets. Whether you're aiming to meet new governance standards or build a supply chain that reflects your values, Hi-Fella empowers you to trade responsibly while staying competitive in a world where ethics and economics go hand in hand.
Pope Leo’s Emphasis on Social Justice: Implications for Corporate Governance and ESG Reporting
Pope Leo XIII might not be the first name that comes to mind when thinking about supply chains, board...
Read More
UK Wildfires Highlight Climate Risks: What Businesses Should Consider
UK Wildfires Highlight Climate Risks: What Businesses Should Consider
Wildfires in the United Kingdom were once a statistical rarity, relegated to the heathlands and moorlands...
Philippines 2025 Elections: Implications for Foreign Investors and Trade Policies
Philippines 2025 Elections: Implications for Foreign Investors and Trade Policies
In May 2025, the Philippines will hold its midterm elections—a political event that may not grab global...