Hi-Fella Insights

7 Sumber Peluang Usaha dari Faktor Eksternal Bagi Pelaku Usaha

Dalam dunia bisnis tentunya selalu ada persaingan. Memahami dan memanfaatkan sumber peluang usaha dari faktor eksternal adalah salah satu kunci bagi keberhasilan semua pelaku usaha. 

Bagi Anda yang baru mulai merintis usaha maupun yang sudah menjadi pengusaha namun ingin menambah wawasan, pada artikel ini kami akan memberikan penjelasan mendalam mengenai apa saja sumber peluang usaha dari faktor eksternal yang bisa berdampak bagi bisnis Anda. Yuk, simak penjelasan lengkapnya!

Pengertian Sumber Peluang Usaha dari Faktor Eksternal

pengertian sumber peluang usaha dari faktor eksternal

Sumber peluang usaha dari faktor eksternal adalah suatu kesempatan yang datang dari luar diri seorang pengusaha tersebut. 

Adapun aspek-aspek eksternal yang mempengaruhi kinerja sebuah usaha yaitu seperti kondisi persaingan pasar, situasi ekonomi, politik dan hukum, perkembangan teknologi, maupun peristiwa-peristiwa besar di tingkat global. 

Faktor-faktor dari luar inilah yang dapat memiliki pengaruh secara positif maupun negatif terhadap kegiatan usaha.

Untuk memastikan pertumbuhan bisnis yang lebih berkelanjutan dan menguntungkan, penting bagi pengusaha untuk secara aktif mengawasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan eksternal tersebut, agar bisa menyesuaikan diri dan dapat mengurangi efek negatif yang mungkin akan terjadi.

Apa Saja Sumber Peluang Usaha dari Faktor Eksternal?

sumber peluang usaha dari faktor eksternal perusahaan

Setelah mengetahui pengertian dari sumber peluang usaha dari faktor eksternal, berikut ini merupakan aspek-aspeknya:

1. Analisis Tren Industri 

Tren industri adalah salah satu sumber peluang usaha dari faktor eksternal yang paling berpengaruh dalam kemajuan suatu bisnis.

Pemahaman yang mendalam terhadap tren ini membantu pelaku bisnis dalam mengenali dan menangkap peluang pasar yang baru muncul, serta dalam pengembangan produk atau layanan yang sesuai dengan permintaan pasar saat ini.

Misalnya, tren keberlanjutan atau sustainability dan praktek ramah lingkungan yang terus meningkat di berbagai sektor industri telah membuka peluang besar untuk produk dan layanan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. 

Peningkatan kesadaran konsumen terhadap isu-isu lingkungan ini juga telah mendorong permintaan akan produk yang tidak hanya ramah lingkungan saja tetapi juga etis dalam proses produksinya.

Tesla merupakan salah satu contoh perusahaan otomotif yang memproduksi mobil ramah lingkungan karena menggunakan energi listrik untuk mengoperasikannya sehingga dapat mengurangi emisi karbondioksida dan dampak negatif terhadap lingkungan. 

tren industri otomotif ramah lingkungan perusahaan Tesla

Sumber: Electrek

Dilansir dari Marketers, hingga saat ini Tesla telah berhasil menggaet pelanggan setia mereka dan mengamankan sekitar 2% pangsa pasar otomotif di Amerika Serikat. 

Meskipun produk-produk dari Tesla ini dianggap berada di kisaran harga yang lebih tinggi, namun permintaan untuk mobil mereka tetap kuat dan seringkali juga melampaui jumlah yang tersedia. 

Selain Tesla, produsen mobil lain juga telah mulai memperkenalkan kendaraan listrik mereka yang menandakan bahwa di masa depan, transportasi yang ramah lingkungan akan terus berkembang.

2. Dampak Perubahan Regulasi pada Peluang Usaha

Sumber peluang usaha dari faktor eksternal selanjutnya adalah perubahan regulasi yang sering dianggap sebagai tantangan maupun peluang oleh para pelaku usaha. 

Misalnya, regulasi baru tentang data privacy dapat mendorong permintaan untuk solusi cyber security, sehingga dapat membuka peluang bagi perusahaan yang bergerak di bidang ini.

Penting bagi bisnis untuk memahami bagaimana perubahan regulasi ini dapat mempengaruhi model bisnis mereka dan bagaimana mereka dapat menyesuaikan strategi mereka untuk memanfaatkan peluang atau mengurangi dampak negatif dari perubahan tersebut.

Salah satu perubahan regulasi yang berdampak pada usaha yaitu menurut Harian Ekonomi Neraca, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif (Ekraf) yang bertujuan untuk mendorong inovasi, adaptasi, dan kerjasama dalam sektor ekonomi kreatif. 

Peraturan ini merupakan langkah strategis untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan membuka lebih banyak peluang usaha di berbagai sektor di Indonesia. Regulasi ini diharapkan dapat memberikan dorongan signifikan untuk perkembangan ekonomi kreatif yang dinamis dan inovatif.

3. Teknologi sebagai Pendorong Peluang Bisnis

Perkembangan teknologi, seperti Artificial Intelligence (AI), blockchain, dan Internet of Things (IoT), telah mengubah cara kita bekerja dan berinteraksi. 

Misalnya, AI membantu dalam mengelola dan memahami data yang dihasilkan dalam berbagai proses. Teknologi ini juga bisa mempercepat dan memperbaiki berbagai proses kerja.

Selanjutnya ada blockchain yang dapat meningkatkan kepercayaan dan keamanan dalam transaksi digital khususnya bagi industri usaha fintech. Contohnya, dalam sistem pembayaran atau pengelolaan data perusahaan.

Sedangkan IoT dapat menghubungkan berbagai perangkat elektronik ke internet, sehingga memungkinkan mereka berkomunikasi dan mengotomatisasi tugas-tugas tertentu. Ini membantu bisnis menjadi lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Misalnya, dalam otomatisasi pabrik.

Kombinasi dari ketiga teknologi ini dapat membuka peluang baru dalam bisnis, seperti menciptakan model bisnis baru, meningkatkan efisiensi, dan menawarkan cara-cara baru dalam interaksi dengan pelanggan.

4. Pengaruh Kondisi Ekonomi Terhadap Peluang Usaha

Sumber peluang usaha dari faktor eksternal selanjutnya adalah pengaruh dari kondisi ekonomi. Saat kondisi ekonomi sedang baik, tentunya banyak orang memiliki gaji yang lebih tinggi, sehingga mereka bisa membeli banyak barang. 

Hal ini dapat menguntungkan perusahaan yang memproduksi barang tersebut karena permintaan yang tinggi. Mereka bisa mempekerjakan banyak orang dan membayar gaji tinggi. 

Namun, saat kondisi ekonomi sedang turun, perusahaan seringkali harus mengurangi karyawan mereka maupun penurunan gaji. Daya beli masyarakat pun akan lebih sedikit karena penghasilan mereka menurun.

Akibatnya, perusahaan bisa kesulitan menjual produknya, yang mungkin mengakibatkan pengangguran meningkat karena masyarakat mulai kehilangan pekerjaan mereka.

Oleh karena itu, pemahaman akan kondisi ekonomi ini penting untuk mengidentifikasi peluang dan merencanakan strategi bisnis agar lebih efektif.

5. Peluang dari Perubahan Sosial dan Budaya

tren berbelanja online terhadap peluang usaha dari faktor eksternal.

Sumber: TrenAsia

Perubahan sosial dan budaya dapat menciptakan permintaan untuk produk atau layanan baru. Sebagai contoh, kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental telah menciptakan permintaan untuk aplikasi maupun layanan yang mendukung aspek ini. 

Hal ini menggambarkan bagaimana tren sosial dan budaya dapat mempengaruhi pasar dan menciptakan kebutuhan baru yang sebelumnya mungkin tidak ada.

Selain itu, perubahan sosial dan budaya ini juga dapat menciptakan inovasi dalam teknologi dan cara kita berkomunikasi maupun bertransaksi. 

Misalnya, popularitas media sosial dan kebiasaan belanja online telah menciptakan inovasi baru yaitu munculnya aplikasi berbasis media sosial dan e-commerce seperti TikTok Shop.

Berdasarkan laporan Momentum Works, pada tahun 2022, TikTok Shop memegang 4,4% pangsa pasar e-commerce di Asia Tenggara, dengan perkiraan kenaikan menjadi 13,2% pada 2023. TikTok Shop dianggap berpotensi menjadi pesaing serius bagi pemain besar e-commerce di kawasan tersebut seperti Shopee, Lazada, dan Tokopedia.

Kesimpulannya, perubahan sosial dan budaya membuka peluang bagi bisnis untuk berinovasi dan tumbuh sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang terus berubah.

6. Pengaruh Globalisasi pada Peluang Bisnis Lokal

Pengaruh globalisasi dapat membawa dampak positif dan negatif bagi bisnis lokal. Di satu sisi, produk lokal bisa bersaing dengan produk impor. 

Di sisi lain, pelaku usaha lokal juga dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memasarkan produk mereka secara digital. 

Dengan adanya teknologi, pelaku usaha di Indonesia dapat lebih mudah berkolaborasi dengan platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee. 

Hal ini memungkinkan mereka untuk memasarkan produk mereka lebih luas, tidak hanya di wilayah lokal tetapi juga ke pasar internasional. 

Kesimpulannya, pengaruh globalisasi dapat memberi dampak pada perekonomian suatu negara, khususnya UMKM melalui penggunaan teknologi dan informasi.

Namun, tidak semua UMKM langsung merasakan manfaatnya. Di Indonesia, masih banyak UMKM yang perlu meningkatkan kemampuan teknologinya agar bisa lebih berkembang dan memanfaatkan peluang bisnis yang ada. 

Misalnya seperti peningkatan keterampilan menggunakan strategi pemasaran digital melalui media sosial, ads, website, dan lainnya dibandingkan hanya mengandalkan cara-cara yang konvensional.

7. Pentingnya Kemitraan Strategis

Kemitraan strategis merupakan kesepakatan antara dua atau lebih perusahaan untuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama. 

Kolaborasi ini biasanya berbentuk kemitraan atau pengembangan produk yang tujuannya untuk menggabungkan kekuatan masing-masih mitra untuk meraih kesuksesan yang jauh lebih besar daripada jika harus dicapai sendirian. 

Kemitraan ini memberikan berbagai manfaat misalnya seperti pembagian biaya pengembangan produk dan inovasi, akses ke pasar dan pelanggan baru, serta kesempatan untuk saling berbagi pengetahuan dan kemampuan yang baru. 

Salah satu contoh kemitraan strategis yang sedang hangat diperbincangkan saat ini yaitu dari perusahaan TikTok yang berinvestasi senilai $1,5 miliar di Tokopedia dan menjadi pemegang saham mayoritas. 

kemitraan strategis oleh perusahaan Tokopedia dan TikTok Shop

Sumber: Bloomberg

Kemitraan ini mengintegrasikan bisnis Tokopedia dan TikTok Shop di Indonesia, memindahkan transaksi belanja dari TikTok ke Tokopedia. TikTok memilih Tokopedia karena basis pengguna dan pengalaman e-commerce Tokopedia yang luas di Indonesia. 

Kemitraan ini diharapkan meningkatkan pertumbuhan e-commerce dan transaksi di Indonesia, namun juga dapat berpotensi menimbulkan persaingan yang tidak sehat karena adanya dominasi pasar. 

Sumber Peluang Usaha dari Faktor Eksternal adalah Inovasi Bisnis di Era Global

Memahami dan memanfaatkan sumber peluang usaha dari faktor eksternal adalah kunci untuk sukses dalam dunia bisnis yang kompetitif seperti saat ini. 

Dengan mendapat wawasan baru melalui informasi dan melakukan inovasi terhadap perubahan di sekitar, pelaku bisnis dapat menemukan dan memanfaatkan peluang-peluang baru yang muncul sehingga dapat bersaing bukan dalam negeri saja, namun berskala global. 

Kunjungi platform Hi-Fella untuk mendapat informasi terbaru bagi pertumbuhan dan inovasi dalam bisnis Anda!

About Author

Silvia Stefani Chandra

Silvia Stefani Chandra

Leave a Reply

Other Article

The Intersection of Religion and International Business: Understanding Pope Leo's Influence
The Intersection of Religion and International Business: Understanding Pope Leo's Influence
In today’s global marketplace, business decisions are shaped by a complex web of economic, political,...
Read More
Pope Leo’s Emphasis on Social Justice: Implications for Corporate Governance and ESG Reporting Pope Leo XIII might not be the first name that comes to mind when thinking about supply chains, board structures, or ESG metrics—but perhaps he should be. In 1891, with the encyclical Rerum Novarum, Pope Leo XIII became one of the earliest modern figures to articulate a systematic philosophy of social justice grounded in dignity, fairness, and responsibility within economic life. Over a century later, his message is finding surprising resonance in boardrooms, compliance frameworks, and ESG reports. As global businesses, particularly those operating across borders in the export-import arena, face mounting scrutiny over how they treat workers, engage communities, and protect the environment, the principles championed by Pope Leo offer more than ethical guidance. They offer a blueprint for long-term, resilient corporate governance. Revisiting Rerum Novarum: The Origins of Modern Social Doctrine Issued in response to the harsh conditions of the industrial revolution, Rerum Novarum—Latin for “Of New Things”—was Pope Leo XIII’s response to capitalism’s rapid evolution. The encyclical didn’t condemn free markets outright but warned against the dehumanisation of labour and unchecked industrial power. Its key tenets included: The right to private property, balanced by the obligation to use it responsibly. The dignity of labour and the necessity of a living wage. The importance of trade unions and collective bargaining. The role of the state in protecting vulnerable populations. A critique of both unregulated capitalism and radical socialism. In effect, Leo XIII laid out a social framework that prioritised human dignity over profit maximisation. And while this doctrine was originally written for a 19th-century Europe grappling with mechanisation and urban poverty, its philosophical architecture is highly relevant to today’s conversations on Environmental, Social, and Governance (ESG) standards. From Papal Doctrine to ESG Standards: The Bridge ESG has become the de facto language for expressing how corporations manage risks and opportunities beyond traditional financial metrics. But at its core, ESG is about values translated into systems: how we treat people, how we steward resources, and how we design institutions to be accountable. In this context, Pope Leo’s teachings become not only compatible with ESG but foundational to it. Consider the thematic overlap: Social justice aligns with Social (S) in ESG, covering labour conditions, employee wellbeing, and equitable supply chains. Ethical use of property aligns with Governance (G), touching on shareholder responsibility, executive accountability, and ethical decision-making. Concern for the common good parallels Environmental (E) imperatives, especially the long-term view of sustainability and stewardship. This is particularly relevant for multinational export-import players who straddle jurisdictions, labour regimes, and supply chains that often include both highly regulated markets and vulnerable geographies. Corporate Governance: A New Moral Imperative Corporate governance is no longer just about fiduciary responsibility and compliance checklists. Boards are now expected to think critically about systemic risks—climate, inequality, supply chain fragility—and to embed values into business models. This is where Pope Leo’s influence becomes strategically significant. His emphasis on subsidiarity, a principle later elaborated in Catholic social teaching, holds that decisions should be made at the lowest competent level. Applied to corporate governance, this suggests empowering local suppliers, decentralising certain ESG strategies, and trusting community-rooted partners rather than imposing top-down mandates. For export-import firms, especially those operating in developing economies, this governance model encourages: Partnering with local stakeholders on environmental and social policies. Ensuring board diversity includes voices with on-the-ground operational or social insight. Establishing ethical trade committees that go beyond legal compliance into moral accountability. A good example comes from Unilever, which embedded sustainability goals directly into board oversight mechanisms, giving ESG performance equal weight to traditional financial KPIs. This approach reflects not just smart governance but the moral sensibility that Leo XIII envisioned—a business accountable not only to shareholders but to society at large. Social Justice in Supply Chains: From Ethics to Action One of Pope Leo’s most striking contributions was his insistence on a “living wage”—a concept that remains radical in many parts of the world. Today, the globalised supply chain continues to struggle with this legacy. From textile factories in Bangladesh to cobalt mines in the Democratic Republic of Congo, millions of workers form the backbone of export-import networks, yet live on precarious wages with minimal protections. ESG reporting frameworks such as the Global Reporting Initiative (GRI) and Sustainability Accounting Standards Board (SASB) now require disclosure of workforce conditions, safety, gender pay gaps, and forced labour risk. These aren’t just regulatory pressures—they're extensions of the same ethical imperative Leo XIII articulated: the dignity of work and the rights of workers. For global firms, this means: Auditing suppliers for not only compliance but dignity—ensuring workers have safe conditions, fair pay, and voice mechanisms. Moving from reactive CSR donations to proactive value-chain transformation. Embracing long-term contracts with suppliers that reward ethical practices over lowest-cost bids. Apple, for instance, began publishing annual supply chain responsibility reports in the 2010s, and while not perfect, the move to public accountability mirrors the moral transparency that Pope Leo would consider essential in any economic structure. ESG Reporting: The Shift From Optics to Substance Pope Leo XIII warned against philanthropy as a substitute for justice. Today, businesses are often accused of “greenwashing” or “social-washing”—presenting ESG initiatives as branding exercises rather than embedded values. This is where his legacy offers a potent corrective. True ESG alignment demands that social impact is not confined to a side office in marketing, but woven into procurement strategies, capital allocation, and product development. To do this effectively, companies must move beyond disclosure to deliberation: What ethical lens do we use when selecting markets or partners? How are decisions about automation, relocation, or workforce reduction made—and who benefits? Does our ESG data reflect lived realities, or merely pass the materiality test? The EU’s Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD), set to impact over 50,000 companies by 2026, moves toward this deeper integration by requiring not just narrative sustainability reports, but auditable, standardised ESG data. Firms that fail to build internal ESG data systems now will face reputational and regulatory penalties soon. Investor Sentiment and Catholic Social Ethics Interestingly, investor behaviour is also converging with Leo XIII’s ethics. Impact investing, faith-based investing, and ESG screening are no longer niche. According to the Global Sustainable Investment Review, global sustainable investment reached $35.3 trillion in 2020, accounting for more than a third of total assets under management. Faith-aligned investment groups, including Catholic institutions managing multi-billion-dollar endowments, increasingly exclude companies that violate labour rights, degrade ecosystems, or operate in high-conflict zones. Pope Leo’s social vision now directly influences capital flows. Export-import players hoping to attract institutional investors must demonstrate more than quarterly earnings—they must articulate how their operations align with justice, stewardship, and human dignity. These are not soft values; they are becoming capital differentiators. The Strategic Advantage of Moral Clarity It’s tempting to see ESG as a chore, an imposition from regulators and activist investors. But Leo XIII saw something deeper: that systems built without moral clarity eventually become unstable. Whether it’s collapsing supply chains during a pandemic, extreme weather disrupting logistics, or social unrest in response to inequality, businesses today are paying the price for ignoring the societal context in which they operate. For those in export-import—where interdependence, visibility, and velocity define competitive advantage—moral clarity is not just a compass. It’s a risk management tool. Embracing the social justice principles articulated by Pope Leo XIII is not about religious observance. It’s about recognising that every contract, every shipment, and every business decision takes place in a moral landscape. Companies that map that terrain wisely will build trust, attract capital, and sustain value in a turbulent century. Final Thought: The Long View Matters Pope Leo XIII understood that economic systems shape souls, not just markets. As ESG matures from a trend to a global standard, his insistence on dignity, justice, and moral economy becomes increasingly relevant. Businesses that embrace this long view—treating social responsibility as governance, not charity—will not only report better metrics. They’ll build more enduring, ethical, and ultimately profitable operations. Join Hi-Fella Today! As Pope Leo’s enduring emphasis on social justice gains renewed relevance in today’s ESG-driven business landscape, export-import companies must rise to the challenge of aligning profit with purpose. Hi-Fella supports this shift by connecting you with ethically aligned partners, offering transparency tools to enhance ESG reporting, and enabling responsible sourcing across global markets. Whether you're aiming to meet new governance standards or build a supply chain that reflects your values, Hi-Fella empowers you to trade responsibly while staying competitive in a world where ethics and economics go hand in hand.
Pope Leo’s Emphasis on Social Justice: Implications for Corporate Governance and ESG Reporting
Pope Leo XIII might not be the first name that comes to mind when thinking about supply chains, board...
Read More
UK Wildfires Highlight Climate Risks: What Businesses Should Consider
UK Wildfires Highlight Climate Risks: What Businesses Should Consider
Wildfires in the United Kingdom were once a statistical rarity, relegated to the heathlands and moorlands...
Philippines 2025 Elections: Implications for Foreign Investors and Trade Policies
Philippines 2025 Elections: Implications for Foreign Investors and Trade Policies
In May 2025, the Philippines will hold its midterm elections—a political event that may not grab global...