Hi-Fella Insights

Penipuan Barang Ditahan Bea Cukai: Panduan bagi Pelaku Bisnis dan UKM

Dalam dunia perdagangan internasional, penipuan barang ditahan bea cukai menjadi tantangan serius yang dihadapi oleh para pelaku bisnis, importir, eksportir, serta pemilik usaha kecil dan menengah (UKM). 

Oleh karena itu, pada artikel ini kami akan mengupas tuntas mengenai apa saja kasus penipuan barang ditahan bea cukai, jenis-jenis penipuan yang terkait dengan bea cukai dan strategi efektif untuk mencegahnya. Simak penjelasan selengkapnya!

Jenis-Jenis Penipuan Barang Ditahan Bea Cukai

Jenis-Jenis Penipuan Barang Ditahan Bea Cukai

Sumber: Republika

Penipuan barang dalam bea cukai bisa sangat beragam, namun beberapa tipe utama penipuan barang ditahan bea cukai yang sering terjadi mencakup:

1. Barang Palsu

Barang palsu merupakan salah satu masalah utama dalam perdagangan internasional. Barang-barang ini mungkin tampak identik dengan produk asli namun dibuat dengan bahan yang lebih murah dan tidak memenuhi standar keamanan atau kualitas. 

Penipuan jenis ini tidak hanya berpotensi merugikan konsumen saja, tapi juga merusak reputasi brand yang asli.

2. Underinvoice

Praktik underinvoice dilakukan dengan menyatakan nilai barang yang lebih rendah dari harga sebenarnya pada dokumen bea cukai untuk mengurangi jumlah pajak atau bea masuk yang harus dibayar. 

Tindakan ini tidak hanya merugikan pemerintah dari segi penerimaan pajak tetapi juga menciptakan persaingan harga yang tidak sehat dan merugikan pelaku usaha lain yang mematuhi aturan.

3. Penggunaan Dokumen Palsu

Penipuan melalui penggunaan dokumen palsu, seperti faktur, packing list, atau dokumen asal-usul barang yang tidak akurat, merupakan cara lain untuk memanipulasi proses bea cukai. 

Hal ini sering kali bertujuan untuk mengelabui pemeriksaan dan mengimpor barang-barang yang seharusnya tidak diperbolehkan masuk ke dalam sebuah negara.

4. Pengiriman Barang Terlarang

Penipuan ini melibatkan pengiriman barang yang secara eksplisit dilarang oleh hukum, seperti obat-obatan terlarang, senjata, atau produk yang melanggar hak kekayaan intelektual. 

Penipuan semacam ini sangat serius dan dapat menyebabkan konsekuensi hukum yang berat bagi semua pihak yang terlibat.

5. Pengelakan Pajak

Selain underinvoice, pengelakan pajak juga bisa melibatkan tindakan seperti misclassification, di mana barang diklasifikasikan ke dalam kategori yang memiliki tarif bea masuk lebih rendah dari yang seharusnya. 

Hal ini juga merupakan bentuk manipulasi yang dirancang untuk menghindari pembayaran pajak yang benar.

Dampak dan Hukuman Penipuan Barang Ditahan Bea Cukai 

Penipuan barang ditahan bea cukai tidak hanya merupakan pelanggaran hukum, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap ekonomi dan masyarakat. 

Pemahaman terhadap konsekuensi dari tindakan ini sangat penting bagi semua pihak yang terlibat dalam perdagangan internasional. Berikut penjelasannya:

1. Kerugian Pendapatan Pajak

Penipuan bea cukai seringkali melibatkan penghindaran pajak, yang menyebabkan kerugian besar bagi pendapatan negara. 

Pendapatan yang hilang ini seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan program sosial yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

2. Gangguan Kestabilan Pasar

Penipuan juga dapat mengganggu kestabilan pasar dengan membanjiri pasar dengan barang-barang ilegal atau di bawah standar yang dijual dengan harga lebih rendah, sehingga merugikan produsen dan penjual yang beroperasi secara legal. Hal ini dapat mengakibatkan distorsi harga pasar dan persaingan yang tidak sehat.

3. Risiko Kesehatan dan Keselamatan

Barang-barang yang tidak memenuhi standar keamanan yang sah karena dipalsukan atau diklasifikasikan secara salah dapat menimbulkan risiko serius bagi kesehatan dan keselamatan konsumen. 

Produk seperti makanan, obat-obatan, dan elektronik yang tidak melalui pengujian yang memadai dapat menimbulkan berbagai masalah atau kerugian bagi konsumen.

Hukuman untuk Pelaku Penipuan

1. Sanksi Keuangan

Pelaku penipuan bea cukai biasanya dijatuhi denda besar yang bertujuan untuk memberi efek jera dan mengganti sebagian dari pendapatan pajak yang hilang. Denda ini seringkali jauh lebih besar dari nilai barang yang terlibat dalam penipuan.

2. Kehilangan Barang

Barang yang terlibat dalam penipuan sering kali disita oleh otoritas bea cukai. Penipuan barang ditahan bea cukai ini bertujuan untuk mencegah barang-barang tersebut masuk ke pasar dan sebagai sanksi tambahan terhadap pelaku.

3. Hukuman Penjara

Dalam kasus-kasus serius, pelaku penipuan barang ditahan bea cukai bisa dijatuhi hukuman penjara. Hal ini adalah langkah paling ekstrem yang menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran ini dianggap oleh otoritas hukum. 

Hukuman penjara tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku tetapi juga sebagai peringatan keras kepada orang lain yang mungkin mempertimbangkan tindakan serupa.

4. Pengawasan dan Restriksi Masa Depan

Pelaku yang terbukti bersalah juga mungkin akan mengalami pembatasan dalam aktivitas perdagangan dikemudian hari. 

Misalnya seperti larangan atau pembatasan lanjutan terhadap aktivitas impor atau ekspor mereka, serta peningkatan pengawasan oleh otoritas bea cukai.

Laporan Kasus dan Statistik Penipuan Barang Ditahan Bea Cukai

Berikut ini merupakan contoh kasus penipuan barang ditahan bea cukai dan statistik jumlah barang yang ditahan oleh bea cukai karena penipuan atau pemalsuan:

Satu Ton Milk Bun dari Thailand Dimusnahkan Pemerintah

Dilansir dari Beacukai, pada tanggal 8 Maret 2024, Bea Cukai Soekarno-Hatta, bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), berhasil memusnahkan sebanyak 2.564 buah roti milk bun asal Thailand, yang memiliki total berat satu ton dan nilai sekitar Rp400 juta. 

Penindakan ini merupakan hasil dari 33 inspeksi terhadap barang bawaan penumpang yang tiba di Bandara Soekarno-Hatta selama bulan Februari 2024. 

Setiap roti tersebut, dengan berbagai varian, diselundupkan oleh penumpang tanpa izin edar dari BPOM, yang merupakan syarat wajib untuk produk makanan yang masuk ke Indonesia.

Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta, Gatot Sugeng Wibowo, menegaskan bahwa penindakan hanya dilakukan terhadap barang yang melebihi batas bawaan 5 kg per penumpang dan tanpa izin yang sesuai. Karena jumlah besar dan variasi produk yang dibawa, diindikasikan bahwa barang-barang tersebut dimaksudkan untuk tujuan komersial atau jasa titipan, bukan untuk konsumsi pribadi. 

Penindakan dan pemusnahan tersebut bertujuan untuk melindungi industri makanan dalam negeri dan memastikan hanya produk yang aman dan berkualitas yang beredar di masyarakat. Gatot juga mengimbau masyarakat untuk mendukung industri makanan lokal dengan membeli produk yang terdaftar dan aman sesuai ketentuan Badan POM.

Statistik Jumlah Barang yang Ditahan oleh Bea Cukai

Statistik Jumlah Barang yang Ditahan oleh Bea Cukai

Sumber: CNBC

Infografis ini memberikan data mengenai berbagai barang yang seringkali menjadi subjek penindakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Indonesia karena pelanggaran hukum, seperti ilegalitas, serta kegiatan ekspor dan impor yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. 

Barang-barang tersebut, yang ditampilkan dengan jumlah kasus masing-masing, termasuk:

  • Tembakau: 5.994 kasus
  • Kosmetik, obat, dan bahan kimia: 1.715 kasus
  • Barang pornografi: 1.444 kasus
  • Minuman mengandung etil alkohol: 1.254 kasus
  • Tekstil dan produk tekstil: 484 kasus
  • Makanan dan minuman: 567 kasus
  • Elektronik: 465 kasus
  • HP, gadget, part, dan aksesoris: 567 kasus
  • Kendaraan, part dan aksesoris: 411 kasus
  • Sembako: 340 kasus

Cara Mencegah Penipuan Barang Ditahan Bea Cukai 

Mencegah penipuan barang yang ditahan oleh bea cukai merupakan tantangan yang dihadapi banyak pelaku bisnis, importir, dan eksportir.

Langkah-langkah proaktif perlu diambil untuk meminimalisir risiko penipuan dan memastikan kepatuhan terhadap hukum serta regulasi yang berlaku. Berikut adalah beberapa cara efektif untuk mencegah penipuan barang ditahan bea cukai:

1. Memahami Regulasi dan Kebijakan Impor-Ekspor

Pelaku bisnis harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang regulasi dan kebijakan impor-ekspor yang berlaku di negara asal serta negara tujuan. Hal ini termasuk memahami batasan dan persyaratan impor, tarif bea masuk, serta dokumen yang diperlukan.

2. Menggunakan Jasa Pengawasan Ketat

Menggunakan jasa pengawasan dan verifikasi independen dapat membantu memverifikasi keaslian dan kepatuhan dokumen serta barang. Perusahaan-perusahaan ini biasanya memiliki keahlian dalam menilai risiko dan dapat memberikan jaminan tambahan terhadap keamanan transaksi.

3. Melakukan Pemeriksaan dan Verifikasi Pemasok

Melakukan verifikasi dan audit secara berkala terhadap pemasok untuk memastikan bahwa mereka juga mematuhi regulasi yang berlaku. Pemilihan pemasok yang kredibel dan terpercaya sangat penting untuk mengurangi risiko terlibat dalam penipuan.

4. Mengadopsi Teknologi

Penggunaan teknologi terkini dalam sistem manajemen rantai pasokan, seperti blockchain dan IoT, dapat meningkatkan transparansi dan memperkuat proses audit. Teknologi ini memungkinkan pemantauan barang secara real-time dan mengurangi kemungkinan manipulasi dokumen.

5. Melakukan Komunikasi yang Efektif dengan Bea Cukai

Memiliki komunikasi yang baik dengan otoritas bea cukai dan memahami persyaratan mereka dapat membantu dalam memperlancar proses impor dan ekspor serta mencegah keterlambatan dan penahanan yang tidak perlu.

Mengimplementasikan langkah-langkah ini tidak hanya akan membantu mengurangi risiko penipuan barang ditahan bea cukai, tetapi juga meningkatkan kepatuhan dan efisiensi dalam kegiatan perdagangan internasional.

About Author

Silvia Stefani Chandra

Silvia Stefani Chandra

Leave a Reply

Other Article

The Intersection of Religion and International Business: Understanding Pope Leo's Influence
The Intersection of Religion and International Business: Understanding Pope Leo's Influence
In today’s global marketplace, business decisions are shaped by a complex web of economic, political,...
Read More
Pope Leo’s Emphasis on Social Justice: Implications for Corporate Governance and ESG Reporting Pope Leo XIII might not be the first name that comes to mind when thinking about supply chains, board structures, or ESG metrics—but perhaps he should be. In 1891, with the encyclical Rerum Novarum, Pope Leo XIII became one of the earliest modern figures to articulate a systematic philosophy of social justice grounded in dignity, fairness, and responsibility within economic life. Over a century later, his message is finding surprising resonance in boardrooms, compliance frameworks, and ESG reports. As global businesses, particularly those operating across borders in the export-import arena, face mounting scrutiny over how they treat workers, engage communities, and protect the environment, the principles championed by Pope Leo offer more than ethical guidance. They offer a blueprint for long-term, resilient corporate governance. Revisiting Rerum Novarum: The Origins of Modern Social Doctrine Issued in response to the harsh conditions of the industrial revolution, Rerum Novarum—Latin for “Of New Things”—was Pope Leo XIII’s response to capitalism’s rapid evolution. The encyclical didn’t condemn free markets outright but warned against the dehumanisation of labour and unchecked industrial power. Its key tenets included: The right to private property, balanced by the obligation to use it responsibly. The dignity of labour and the necessity of a living wage. The importance of trade unions and collective bargaining. The role of the state in protecting vulnerable populations. A critique of both unregulated capitalism and radical socialism. In effect, Leo XIII laid out a social framework that prioritised human dignity over profit maximisation. And while this doctrine was originally written for a 19th-century Europe grappling with mechanisation and urban poverty, its philosophical architecture is highly relevant to today’s conversations on Environmental, Social, and Governance (ESG) standards. From Papal Doctrine to ESG Standards: The Bridge ESG has become the de facto language for expressing how corporations manage risks and opportunities beyond traditional financial metrics. But at its core, ESG is about values translated into systems: how we treat people, how we steward resources, and how we design institutions to be accountable. In this context, Pope Leo’s teachings become not only compatible with ESG but foundational to it. Consider the thematic overlap: Social justice aligns with Social (S) in ESG, covering labour conditions, employee wellbeing, and equitable supply chains. Ethical use of property aligns with Governance (G), touching on shareholder responsibility, executive accountability, and ethical decision-making. Concern for the common good parallels Environmental (E) imperatives, especially the long-term view of sustainability and stewardship. This is particularly relevant for multinational export-import players who straddle jurisdictions, labour regimes, and supply chains that often include both highly regulated markets and vulnerable geographies. Corporate Governance: A New Moral Imperative Corporate governance is no longer just about fiduciary responsibility and compliance checklists. Boards are now expected to think critically about systemic risks—climate, inequality, supply chain fragility—and to embed values into business models. This is where Pope Leo’s influence becomes strategically significant. His emphasis on subsidiarity, a principle later elaborated in Catholic social teaching, holds that decisions should be made at the lowest competent level. Applied to corporate governance, this suggests empowering local suppliers, decentralising certain ESG strategies, and trusting community-rooted partners rather than imposing top-down mandates. For export-import firms, especially those operating in developing economies, this governance model encourages: Partnering with local stakeholders on environmental and social policies. Ensuring board diversity includes voices with on-the-ground operational or social insight. Establishing ethical trade committees that go beyond legal compliance into moral accountability. A good example comes from Unilever, which embedded sustainability goals directly into board oversight mechanisms, giving ESG performance equal weight to traditional financial KPIs. This approach reflects not just smart governance but the moral sensibility that Leo XIII envisioned—a business accountable not only to shareholders but to society at large. Social Justice in Supply Chains: From Ethics to Action One of Pope Leo’s most striking contributions was his insistence on a “living wage”—a concept that remains radical in many parts of the world. Today, the globalised supply chain continues to struggle with this legacy. From textile factories in Bangladesh to cobalt mines in the Democratic Republic of Congo, millions of workers form the backbone of export-import networks, yet live on precarious wages with minimal protections. ESG reporting frameworks such as the Global Reporting Initiative (GRI) and Sustainability Accounting Standards Board (SASB) now require disclosure of workforce conditions, safety, gender pay gaps, and forced labour risk. These aren’t just regulatory pressures—they're extensions of the same ethical imperative Leo XIII articulated: the dignity of work and the rights of workers. For global firms, this means: Auditing suppliers for not only compliance but dignity—ensuring workers have safe conditions, fair pay, and voice mechanisms. Moving from reactive CSR donations to proactive value-chain transformation. Embracing long-term contracts with suppliers that reward ethical practices over lowest-cost bids. Apple, for instance, began publishing annual supply chain responsibility reports in the 2010s, and while not perfect, the move to public accountability mirrors the moral transparency that Pope Leo would consider essential in any economic structure. ESG Reporting: The Shift From Optics to Substance Pope Leo XIII warned against philanthropy as a substitute for justice. Today, businesses are often accused of “greenwashing” or “social-washing”—presenting ESG initiatives as branding exercises rather than embedded values. This is where his legacy offers a potent corrective. True ESG alignment demands that social impact is not confined to a side office in marketing, but woven into procurement strategies, capital allocation, and product development. To do this effectively, companies must move beyond disclosure to deliberation: What ethical lens do we use when selecting markets or partners? How are decisions about automation, relocation, or workforce reduction made—and who benefits? Does our ESG data reflect lived realities, or merely pass the materiality test? The EU’s Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD), set to impact over 50,000 companies by 2026, moves toward this deeper integration by requiring not just narrative sustainability reports, but auditable, standardised ESG data. Firms that fail to build internal ESG data systems now will face reputational and regulatory penalties soon. Investor Sentiment and Catholic Social Ethics Interestingly, investor behaviour is also converging with Leo XIII’s ethics. Impact investing, faith-based investing, and ESG screening are no longer niche. According to the Global Sustainable Investment Review, global sustainable investment reached $35.3 trillion in 2020, accounting for more than a third of total assets under management. Faith-aligned investment groups, including Catholic institutions managing multi-billion-dollar endowments, increasingly exclude companies that violate labour rights, degrade ecosystems, or operate in high-conflict zones. Pope Leo’s social vision now directly influences capital flows. Export-import players hoping to attract institutional investors must demonstrate more than quarterly earnings—they must articulate how their operations align with justice, stewardship, and human dignity. These are not soft values; they are becoming capital differentiators. The Strategic Advantage of Moral Clarity It’s tempting to see ESG as a chore, an imposition from regulators and activist investors. But Leo XIII saw something deeper: that systems built without moral clarity eventually become unstable. Whether it’s collapsing supply chains during a pandemic, extreme weather disrupting logistics, or social unrest in response to inequality, businesses today are paying the price for ignoring the societal context in which they operate. For those in export-import—where interdependence, visibility, and velocity define competitive advantage—moral clarity is not just a compass. It’s a risk management tool. Embracing the social justice principles articulated by Pope Leo XIII is not about religious observance. It’s about recognising that every contract, every shipment, and every business decision takes place in a moral landscape. Companies that map that terrain wisely will build trust, attract capital, and sustain value in a turbulent century. Final Thought: The Long View Matters Pope Leo XIII understood that economic systems shape souls, not just markets. As ESG matures from a trend to a global standard, his insistence on dignity, justice, and moral economy becomes increasingly relevant. Businesses that embrace this long view—treating social responsibility as governance, not charity—will not only report better metrics. They’ll build more enduring, ethical, and ultimately profitable operations. Join Hi-Fella Today! As Pope Leo’s enduring emphasis on social justice gains renewed relevance in today’s ESG-driven business landscape, export-import companies must rise to the challenge of aligning profit with purpose. Hi-Fella supports this shift by connecting you with ethically aligned partners, offering transparency tools to enhance ESG reporting, and enabling responsible sourcing across global markets. Whether you're aiming to meet new governance standards or build a supply chain that reflects your values, Hi-Fella empowers you to trade responsibly while staying competitive in a world where ethics and economics go hand in hand.
Pope Leo’s Emphasis on Social Justice: Implications for Corporate Governance and ESG Reporting
Pope Leo XIII might not be the first name that comes to mind when thinking about supply chains, board...
Read More
UK Wildfires Highlight Climate Risks: What Businesses Should Consider
UK Wildfires Highlight Climate Risks: What Businesses Should Consider
Wildfires in the United Kingdom were once a statistical rarity, relegated to the heathlands and moorlands...
Philippines 2025 Elections: Implications for Foreign Investors and Trade Policies
Philippines 2025 Elections: Implications for Foreign Investors and Trade Policies
In May 2025, the Philippines will hold its midterm elections—a political event that may not grab global...